“Senja di Bangku Taman”

Langit sore di kota kecil itu berwarna jingga keemasan. Burung-burung pulang ke sarangnya, dan suara riuh anak-anak bermain perlahan menghilang. Di sebuah bangku taman, Raka duduk sambil menatap langit. Di tangannya, ada sebuah buku catatan lusuh yang selalu ia bawa ke mana pun.

Tak lama, datanglah Alya, gadis dengan senyum yang selalu berhasil meredakan badai di hati Raka. Ia duduk di sebelahnya, menyandarkan tas kecil di pangkuan. “Kamu nulis lagi?” tanyanya sambil melirik buku catatan itu.

Raka tersenyum samar. “Bukan sekadar nulis… ini cerita tentang kamu,” jawabnya pelan.

Alya mengerutkan dahi. “Tentang aku? Emangnya aku menarik buat ditulis?”

“Bahkan detik kamu bertanya itu saja menarik buatku,” kata Raka, matanya tak lepas dari senyum Alya.

Angin sore membawa aroma wangi melati dari kebun di belakang taman. Raka membuka halaman terakhir buku itu, memperlihatkan sebuah puisi yang baru ia tulis:

“Kau adalah senja di langit hatiku—
hangat, namun selalu membuatku takut
karena aku tahu, senja akan pergi
tapi cintaku… akan tetap di sini.”

Alya terdiam, pipinya memerah. “Kamu ini… terlalu romantis,” gumamnya sambil tersenyum malu.

Raka menatapnya lama. “Romantis itu bukan tentang kata-kata indah, tapi tentang membuatmu percaya… bahwa setiap hari aku akan memilih kamu, lagi dan lagi.”

Matahari mulai tenggelam. Mereka duduk berdua dalam diam, hanya ditemani cahaya lampu taman yang mulai menyala. Di hati Alya, ada rasa hangat yang tak bisa diucapkan—karena ia tahu, ia baru saja menemukan rumahnya di hati Raka.