Portal Opini Nasional & Suara Publik Independen

Dua Kasus Viral Parkir: Antara Tuduhan Pungli di Kebun Raya Bogor dan Jukir Liar di Bundaran HI

Berita
Anonim: Penulis Anonim • August 20, 2025 • 5 menit baca • Berita
Sponsor

Jakarta, Agustus 2025 — Dunia maya kembali dihebohkan oleh dua kasus terkait parkir dan pungutan yang viral dalam waktu berdekatan. Pertama, tuduhan pungutan liar (pungli) di kawasan wisata Kebun Raya Bogor, di mana pengunjung mengaku diminta membayar Rp 15.000 per orang hanya karena membawa makanan dari luar. Kedua, kasus jukir liar di Bundaran HI, Jakarta, yang kedapatan menarik tarif Rp…

CTA Tim Marketing & Business Development MSM Parking

IKLAN SPONSOR: https://msmparking.com/

Jakarta, Agustus 2025 — Dunia maya kembali dihebohkan oleh dua kasus terkait parkir dan pungutan yang viral dalam waktu berdekatan. Pertama, tuduhan pungutan liar (pungli) di kawasan wisata Kebun Raya Bogor, di mana pengunjung mengaku diminta membayar Rp 15.000 per orang hanya karena membawa makanan dari luar. Kedua, kasus jukir liar di Bundaran HI, Jakarta, yang kedapatan menarik tarif Rp 10.000 per motor dan langsung mendapat perhatian serius dari Gubernur DKI Jakarta.

Dua peristiwa ini menyoroti persoalan klasik seputar tata kelola parkir dan pungutan di ruang publik. Namun, keduanya berbeda konteks: satu berkaitan dengan aturan resmi yang disalahpahami, sementara lainnya menyangkut praktik ilegal yang jelas merugikan masyarakat.

Kasus Kebun Raya Bogor: Tuduhan Pungli atau Salah Paham?

Beberapa hari lalu, media sosial ramai dengan unggahan seorang pengunjung Kebun Raya Bogor. Ia mengaku dikenakan biaya tambahan Rp 15.000 per orang hanya karena membawa makanan dari luar. Dalam narasi yang beredar, pungutan tersebut disebut sebagai bentuk pungli yang tidak memiliki dasar hukum jelas.

Kabar ini sontak memicu reaksi publik. Banyak warganet yang merasa kecewa karena Kebun Raya Bogor dianggap memberatkan pengunjung dengan tarif tambahan yang tidak wajar. Tak sedikit pula yang mengaitkan kasus ini dengan maraknya isu pungli di sektor pariwisata dan jasa parkir.

Namun, klarifikasi cepat datang dari pihak pengelola. PT Mitra Natura Raya (MNR), sebagai pengelola resmi Kebun Raya Bogor, menegaskan bahwa pungutan tersebut bukan pungli, melainkan biaya resmi yang hanya berlaku untuk rombongan tertentu.

“Biaya Rp 15.000 per orang itu dikenakan bagi rombongan yang mengadakan acara di dalam area Kebun Raya, bukan untuk pengunjung biasa,” jelas perwakilan MNR. Biaya tersebut, lanjutnya, mencakup sewa lahan, pemakaian sound system, dan kontribusi pemeliharaan fasilitas.

Dengan kata lain, pengunjung umum yang sekadar datang untuk berjalan-jalan, berfoto, atau berwisata tidak dikenai biaya tambahan selain tiket masuk resmi. Kasus ini pun akhirnya dipandang sebagai kesalahpahaman publik, yang terlanjur viral di media sosial karena framing narasi yang tidak lengkap.

Meski sudah ada klarifikasi, polemik ini meninggalkan catatan penting: transparansi dan komunikasi soal aturan pungutan di tempat wisata masih sering kurang jelas. Informasi yang tidak tersampaikan dengan baik berpotensi memicu kesalahpahaman publik, yang pada akhirnya bisa mencoreng reputasi destinasi wisata.

Kasus Bundaran HI: Jukir Liar yang Nekat

Berbeda dengan kasus di Bogor, peristiwa di Jakarta menunjukkan praktik pungutan liar yang nyata. Sebuah video viral memperlihatkan juru parkir liar (jukir liar) memungut biaya Rp 10.000 per motor di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat.

Lokasi ini terkenal sebagai salah satu titik ikonik ibu kota, sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun, alih-alih mendapat kenyamanan, pengunjung justru menghadapi praktik pungutan liar yang merugikan.

Video yang beredar luas tersebut segera memicu respons cepat dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Ia menginstruksikan Satpol PP untuk segera melakukan penertiban di lokasi. Oknum jukir liar kemudian diamankan, sementara operasi pengawasan diperketat untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.

“Tidak boleh ada praktik jukir liar di ruang publik strategis seperti Bundaran HI. Penindakan tegas harus dilakukan,” tegas Pramono.

Kasus ini kembali membuka mata bahwa pengelolaan parkir liar di Jakarta masih menjadi pekerjaan rumah besar. Meski pemerintah daerah sudah berupaya menghadirkan sistem parkir digital, praktik ilegal semacam ini terus muncul, terutama di titik-titik keramaian.

Persoalan Klasik Parkir di Indonesia

Dua kasus di atas menggambarkan problematika klasik soal parkir dan pungutan di Indonesia. Di satu sisi, ada aturan resmi yang sering dipersepsikan sebagai pungli karena kurang sosialisasi. Di sisi lain, ada praktik ilegal yang memang tumbuh subur karena lemahnya pengawasan di lapangan.

Persoalan parkir tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan ruang kota. Minimnya lahan parkir formal di area publik kerap menjadi celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menarik keuntungan pribadi. Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Surabaya, cerita soal jukir liar sudah menjadi “kisah lama” yang terus berulang.

Bahkan, beberapa waktu lalu publik juga dihebohkan dengan kasus tarif parkir liar hingga Rp 50.000 di Malioboro dan Rp 360.000 di Bandara Lombok. Kasus-kasus ini menimbulkan keresahan masyarakat sekaligus kritik terhadap lemahnya regulasi dan pengawasan.

Pentingnya Transparansi dan Digitalisasi

Pengamat transportasi menilai bahwa kunci penyelesaian masalah parkir ada pada dua hal utama:

Transparansi tarif dan regulasi, terutama di tempat wisata dan fasilitas publik. Aturan harus dipasang dengan jelas melalui papan informasi, serta diumumkan secara luas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Digitalisasi sistem parkir, seperti penggunaan aplikasi, pembayaran nontunai (QRIS), hingga penerapan sensor otomatis. Sistem digital mampu mengurangi interaksi langsung antara pengguna dan juru parkir, yang selama ini menjadi celah praktik pungli.

Beberapa kota besar seperti Jakarta sudah mulai mengarah ke sistem ini melalui JakParkir dan pembayaran digital. Namun, implementasinya belum merata, sehingga kasus parkir liar masih terus bermunculan.

Reaksi Publik: Antara Geram dan Apatis

Di media sosial, respons publik terhadap dua kasus viral ini beragam. Ada yang marah dan menuntut pemerintah menindak tegas jukir liar. Ada pula yang apatis, menganggap kasus parkir liar sudah “budaya” yang sulit diberantas.

Sementara untuk kasus Kebun Raya Bogor, sebagian warganet menyalahkan pihak pengelola karena dianggap tidak memberikan informasi yang transparan sejak awal. Namun, ada pula yang membela, menilai masyarakat terlalu cepat menghakimi tanpa memahami aturan sebenarnya.

Penutup: Saatnya Tata Kelola Parkir Dibenahi

Kasus tuduhan pungli di Kebun Raya Bogor dan jukir liar di Bundaran HI hanyalah dua dari sekian banyak fenomena parkir yang viral. Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah, pengelola wisata, dan masyarakat untuk bersama-sama membenahi tata kelola parkir di Indonesia.

Transparansi informasi, konsistensi pengawasan, serta keberanian dalam menerapkan sistem digital menjadi kunci agar masyarakat tidak lagi resah oleh praktik pungutan yang merugikan.

Karena pada akhirnya, parkir bukan sekadar soal lahan kosong dan tarif. Parkir adalah wajah pelayanan publik, yang jika tidak dikelola dengan baik, bisa mencoreng citra kota dan bahkan negara di mata masyarakat luas.

416SHARES9.1kVIEWS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *